Menjelang pemberlakuan otonomi daerah, 1 Januari 2001, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Brebes justru menghadapi berbagai persoalan pelik sebagai warisan selama beberapa dasawarsa sebelumnya. Mulai dari pendidikan warga yang rendah, angka kemiskinan tertinggi di Jateng, banyak potensi daerah / sumber daya alam yang belum tergali, hingga jumlah pengangguran yang meningkat menyusul krisis ekonomi sejak akhir 1997. Daerah ini praktis hanya mengandalkan pertanian, sementara pembangunan lebih terkonsentrasi di wilayah utara dan tengah.
DARI 17 kecamatan yang ada, enam kecamatan di wilayah selatan (Bumiayu, Salem, Paguyangan, Tonjong, Sirampog, dan Bantarkawung) terkesan seperti dianaktirikan. Hasil-hasil pembangunan, baik fisik dan nonfisik, lebih dirasakan masyarakat di wilayah tengah (Ketanggungan, Larangan, Kersana, Songgom, Banjarharjo dan Jatibarang). Apalagi dibandingkan dengan Kecamatan Brebes sebagai ibu kota kabupaten maupun daerah-daerah di wilayah utara lainnya seperti Losari, Tanjung, Bulakamba, dan Wanasari.
Kegelisahan masyarakat di wilayah selatan ini seperti menemukan wadahnya, ketika rezim Orde Baru jatuh. Euphoria reformasi telah ''menyatukan'' sejumlah tokoh masyarakat di wilayah selatan, sehingga muncullah wacana yang menggegerkan sepanjang tahun 1999-2000: pembentukan Kabupaten Bumiayu, yang terdiri atas enam kecamatan di kawasan itu, sekaligus memisahkan diri dari Kabupaten Brebes.
Almarhum HM Tadjudin Nuraly -bupati saat itu- pun tidak kuasa menahan euphoria masyarakat di selatan. Bahkan pembahasan semakin serius, ketika terbentuk Tim Persiapan Pemekaran Kabupaten Brebes, yang diketuai H Achmad Faris Sulchaq SH SpN (kini wakil bupati-Red). Tetapi seiring dengan perjalanan waktu, wacana itu mulai menyurut, meski sempat muncul kembali pada pertengahan tahun lalu.
Aura Baru
Entah kebetulan dan tidak, dalam ''pilkada dadakan'' -menyusul wafatnya Tadjudin- H Indra Kusuma SSos menggandeng Achmad Faris, yang selama ini gigih memperjuangkan aspirasi masyarakat di wilayah selatan yang berbatasan dengan Kabupaten Kuningan (Jabar), Cilacap, Banyumas, dan Kabupaten Tegal itu. Yang pasti, ada aura baru dalam pembangunan wilayah di Brebes sejak duet Indra-Faris memimpin kabupaten ini pada 4 Desember 2002.
Ya, Pemkab secara perlahan mulai mengelus wilayah selatan, melalui pembangunan fisik (seperti jalan) dan nonfisik seperti pendidikan, kesehatan, serta renovasi rumah tidak layak huni. Yang cukup dramatis adalah pembangunan jalan alternatif (tahap pertama) di selatan Bumiayu, yang diresmikan akhir November 2004.
Ini merupakan strategi cukup jitu, sebagaimana dikemukakan Prof Ashley -dikutip AT Mosher dalam buku Menggerakkan Pembangunan Pertanian. Kata sang profesor, ''Jika saya mempunyai satu kegiatan di bidang pertanian, saya akan membangun jalan. Tetapi kalau punya dua kegiatan, saya akan membangun jalan lebih banyak. Dan kalau mempunyai tiga kegiatan, maka saya pun akan membangun jalan yang lebih banyak lagi.''
Ini menunjukkan betapa penting infrastruktur bernama jalan. Pembangunan jalan alternatif Bumiayu bukan sekadar memecah kepadatan arus kendaraan jurusan Tegal-Purwokerto, maupun mengurangi kemacetan lalu lintas di pusat Kota Bumiayu. Lebih dari itu, prasarana jalan baru selalu membuka ruang baru di bidang perekonomian, mulai dari toko-toko, warung makan/restoran, hotel, sampai perumahan.
Mungkin sekarang belum terasa gaungnya. Tetapi jika Pemkab merealisasi janjinya untuk melanjutkan jalan alternatif tahap kedua, yakni di utara Bumiayu, maka pernyataan Prof Ashley akan menemui kebenarannya. Setidaknya dalam konteks sekarang pun, aktivitas perdagangan dari Jateng selatan -terutama dari Cilacap dan Banyumas- sudah mulai berlangsung, meski masih didominasi hasil-hasil pertanian.
Sebagian besar jalan di Kecamatan Salem, yang jaraknya sekitar 115 km dari Kota Brebes, kini juga mulai tersentuh program hotmixisasi. Meskipun belum seluruh jalan di Salem tersentuh hotmix, paling tidak sudah ada perhatian dari pemerintah daerah; sesuatu yang dulu terasa langka. ''Dulu saya malas pergi ke Salem, karena lebih cepat ke Semarang daripada ke sana. Apalagi kondisi jalan ketika itu sebagian besar rusak,'' ungkap Udin, penduduk di Kelurahan Limbangan Wetan, Kecamatan Brebes.
Wilayah selatan memang didisain untuk pengembangan sektor pertanian dan agrobisnis, di samping untuk sektor industri kecil, pariwisata, dan perdagangan. Hal ini sesuai dengan pembagian wilayah pembangunan, di mana enam kecamatan di selatan termasuk dalam Sub-Wilayah Pembangunan (SWP) III yang berpusat di Bumiayu.
Sebagai perbandingan, SWP II meliputi Kecamatan Banjarharjo, Larangan, Kersana, dan Ketanggungan yang sekaligus menjadi pusatnya. Sektor yang dikembangkan adalah pertanian tanaman pangan (sayuran, bawang merah, cabe) dan pemerintahan.
Sedangkan SWP I, yang relatif lebih maju, dibagi lagi menjadi dua. SWP I-a meliputi Kota Brebes (sekaligus menjadi pusat), Wanasari, Jatibarang, dan Songgom, dengan sektor unggulan perikanan, perdagangan, jasa dan pemerintahan. SWP I-b, berpusat di Tanjung, terdiri atas Tanjung, Losari dan Bulakamba, dengan sektor unggulan di bidang perdagangan dan pertanian.
Budidaya Nilam
Meski bawang merah menjadi primadona daerah ini, tetapi wilayah selatan tidak dirancang untuk komoditas itu. Produk unggulan sektor pertanian di wilayah ini antara lain jagung, kacang tanah dan pisang. Ada juga ubi kayu (kecuali di Sirampog), padi (kecuali Bumiayu), dan mangga (kecuali Paguyangan). Komoditas lain, meski tak merata di enam kecamatan, adalah kacang hijau, cabe merah, kentang, kobis, kacang hijau, dan terong.
Yang cukup menonjol adalah budidaya nilam, sekaligus industri kecil penyulingan minyak nilam. Budidaya ini banyak dijumpai di Salem, Bantarkawung, dan Paguyangan, yang terletak di lereng Gunung Slamet. Ketiga daerah ini juga membudidayakan cengkeh, kelapa, dan melinjo, Kopi dibudidayakan di enam kecamatan, sedangkan kapas banyak ditanam di Bumiayu.
Kontribusi keenam kecamatan di wilayah selatan terhadap sektor pertanian ini cukup signifikan. Tidak heran jika Brebes mampu menduduki peringkat teratas di Jateng untuk beberapa komoditas pertanian. Produksi nilam kini mencapai 1.334 ton dan berada di peringkat kedua. Sedangkan teh 84 ton daun kering (peringkat ke-9), cengkeh 140 ton daun (14), kopi arabika 3,79 ton (17), kopi robusta 48,92 ton (18), dan tebu 20.187 ton gula pasir (3).
Pengembangan pertanian juga menghasilkan kenaikan produksi pada beberapa komoditas. Misalnya kobis yang tahun lalu mencapai 41.997 ton dari tahun 2003 yang hanya 36.855 ton, produksi kentang 28.334 ton (22.457), wortel 7.450 ton (2.905), jagung 41.408 ton (33.936), kedele 8.778 ton (5.645), pisang 416.875 ton (199.299), dan durian 0,941ton (0,502).
Sayangnya produksi cabe menurun dari 45.834 ton (2003) menjadi 32.844 ton pada tahun berikutnya. Juga sang primadona bawang merah, yang dipusatkan di wilayah tengah, merosot dari 193.113 menjadi 168.150 ton, serta padi sawah dari 530.086 menjadi 461.090 ton.
Pemkab juga berencana mengembangkan potensi wisata di Desa Cilibur, Kecamatan Paguyangan. Di desa ini terdapat hutan Candi Pangkuan, yang dihuni ratusan kera jinak. Pada hari Minggu dan hari libur lainnya, kawasan itu banyak dikunjungi warga dari luar kecamatan yang ingin menikmati keindahan pemandangan hutan dan melihat kera.
Tidak Mudah
Tetapi semudah itukah membangun wilayah selatan? Tentu tidak! Sampai kini, persoalan klasik yang terkait dengan kesejahteraan masyarakat, masih dijumpai di sana. Bahkan transportasi menuju ke kawasan hutan Candi Pangkuan pun masih sulit.
Begitu sulitnya kehidupan di desa ini, sampai-sampai separo warga Desa Cilibur, Paguyangan, merantau ke luar daerah. Malah ada sebuah dusun yang seluruh lelaki dewasanya merantau ke Jabar, Banten, dan DKI Jakarta. Rata-rata menjadi pedagang bubur ayam yang lumayan sukses.
Ini terbukti dari ''devisa nasional'' yang dibawanya dari tanah rantau ke kampungnya. Beberapa rumah gaya modern berjajar rapi di kiri-kanan jalan. Sepeda motor pun rata-rata keluaran tahun terbaru dan dari pabrik terkenal.
Sementara di Kecamatan Paguyangan masih terdapat dusun yang belum menikmati aliran listrik. Menurut catatan Suara Merdeka, terdapat 971 KK dari 18 dusun dan lima desa yang belum menikmati listrik. Di Dusun Ancik, Desa Wanatirta, saja terdapat 157 KK yang tidak menikmati aliran listrik.
Ironisnya, tidak jauh dari dusun itu terdapat tiang listrik. ''Jaraknya hanya sekitar 100 meter. Entah kenapa, sejak negeri ini merdeka sampai sekarang listrik belum juga masuk,'' kata Kades Wanatirta Slamet Edy. Dia sudah seringkali membawa persoalan ini dibawa ke forum musrenbang, mulai dari tingkat desa, kecamatan sampai kabupaten. Tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil.
Begitu pula kebutuhan air bersih, yang masih menjadi persoalan yang belum terurai. Bahkan 13 kecamatan di Brebes belum tercukupi kebutuhan air bersih, sehingga sebagian dari mereka terpaksa membeli. Menurut Kepala Bappeda Ir H Iskandar MM, hal ini karena 101 sumber mata air yang ada belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Padahal jika potensi itu didayagunakan lebih serius bisa mendongkrak PAD, bahkan bisa mempercepat pertumbuhan perekonomian rakyat.
Dari jumlah debit 2.365.935 liter per detik, PDAM baru bisa memanfaatkan 720 liter/detik saja. Namun, lagi-lagi, persoalannya balik ke kemampuan daerah yang tidak mendukung. Apalagi Pemkab juga menanggung pekerjaan yang tidak kalah ringan, yakni mengurangi laju pertumbuhan penduduk, angka kemiskinan, serta jumlah pengangguran.
Di sinilah arti pentingnya swadaya masyarakat, khususnya mereka yang terbebas dari kemiskinan. Hal inilah yang kini dipacu Pemkab. Jika tahun 2002 hanya mampu menghimpun swadaya masyarakat senilai Rp 50,3 miliar, maka pada tahun berikutnya naik menjadi Rp 52,9 miliar. Namun tahun lalu merosot menjadi Rp 33,7 miliar.
''Swadaya ini sangat membantu pemerintah daerah. Betapa pun hebat kinerja aparat, tanpa dukungan masyarakat tak berarti apa-apa,'' tutur Bupati. Untuk menggugah kembali swadaya masyarakat, Pemkab menggulirkan program pemugaran rumah miskin, program pemberdayaan kecamatan (PPK), dan bantuan aspal ke desa.
Program ini diharapkan dapat memancing partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Bantuan desa yang tahun lalu dipukul rata (Rp 25 juta/desa) mulai dilakukan pembedaan dengan nilai minimal Rp 25 juta. Hal ini disesuaikan dengan beberapa aspek, misalnya keterpencilan lokasi dan jumlah penduduk.
Dalam hal ini, desa yang jauh dari kabupaten (terpencil) dengan penduduk padat dan jumlah warga miskin banyak tentu akan mendapat bantuan lebih besar. Jumlah bantuan yang variatif ini diharapkan dapat merangsang masyarakat dan pemerintah desa dalam membangun wilayahnya. (32)
Sumber :
http://www.suaramerdeka.com/harian/0507/05/nas08.htm
5 Juli 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar